Delik Perdagangan Pengaruh dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Ilustrasi KPK. Foto: Shutterstock“Delik tindak pidana Perdagangan Pengaruh (Trading in Influence) tidak bertujuan untuk mengkriminalisasi setiap penggunaan pengaruh oleh seorang pejabat publik, tetapi hanya mengkriminalisasi penggunaan pengaruh yang tidak sah, tidak pantas, atau penyalahgunaan pengaruh yang mendorong seorang pejabat publik yang bertindak melawan hukum.” (Julia Philipp 2009).
Frasa ‘Perdagangan Pengaruh’ atau ‘Trading in Influence’ muncul kembali di media dan pembicaraan publik ketika penggunaan sebuah jet pribadi oleh putra bungsu Presiden Jokowi menjadi pembicaraan publik. Tulisan ini mencoba menjelaskan apa itu Perdagangan Pengaruh dan bedanya dengan Gratifikasi dan Penyuapan.
Tulisan ini sekaligus menyambung tulisan sebelumnya di media kumparan ini, dengan judul “Buat Apa Bersusah Payah Memilih Pimpinan KPK?” untuk memasukkan delik Perdagangan Pengaruh ke dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, mengingat ada kelemahan mendasar dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu belum memasukkan ketentuan pidana yang mengatur apabila terjadi Perdagangan Pengaruh.
United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) mendefinisikan Perdagangan Pengaruh sebagai janji, penawaran, atau pemberian kepada pejabat publik atau orang lain siapa pun, secara tidak langsung atau langsung, untuk menyalahgunakan pengaruhnya demi memperoleh manfaat yang tidak semestinya. Termasuk dalam pengertian ini adalah permintaan atau penerimaan oleh pejabat publik atas manfaat yang tidak semestinya agar menyalahgunakan wewenangnya.
KPK sudah 4 tahun dipimpin Firli. Mengganas atau meranggas? Foto: Hedi/kumparan
Sampai dengan tulisan ini dibuat Perdagangan Pengaruh belum diatur di dalam UU Tindak Pidana Korupsi, walaupun Indonesia telah meratifikasi UNCAC melalui UU No. 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003. Praktik Perdagangan Pengaruh ini disinyalir banyak terjadi di Indonesia, namun demikian Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yaitu UU No.19 tahun 1999 jo. UU No.20 tahun 2021 belum memuat ketentuan tentang Perdagangan Pengaruh.
Karena belum adanya pasal yang memuat tentang hal ini, seringkali membuat Aparat Penegak Hukum sulit untuk menjerat pelakunya. Padahal korupsi itu sendiri secara substansial tidak hanya muncul dalam bentuk modus yang sederhana seperti: penggelembungan harga, penyuapan, gratifikasi, pemerasan, kecurangan dalam pengadaan dan sebagainya.
Namun ada bentuk korupsi lain yang mengkhawatirkan saat ini yaitu pembajakan fungsi-fungsi negara untuk kepentingan bisnis, politik, maupun kombinasi dan persilangan di antara keduanya. Hal tersebut dikenal juga dengan istilah state capture corruption atau korupsi yang dilakukan secara sistemik yang terjadi ketika kepentingan swasta mempengaruhi pembuatan kebijakan untuk keuntungan mereka.
Penyelidik KPK. Foto: Instagram/@official.kpk
Perdagangan Pengaruh atau Trading in Influence sendiri diatur dalam UNCAC pasal 18 huruf (a) dan (b) yang berbunyi:
Each State Party shall consider adopting such legislative and other measures as may be necessary to establish as criminal offences, when committed intentionally:
a. “The promise, offering or giving to a public official or any other person, directly or indirectly, of an undue advantage in order that the public official or the person abuse his or her real or supposed influence with a view to obtaining from an administration or public authority of the State Party an undue advantage for the original instigator of the act or for any other person”.
b. The solicitation or acceptance by a public official or any other person, directly or indirectly, of an undue advantage for himself or herself or for another person in order that the public official or the person abuse his or her real or supposed influence with a view to obtaining from an administration or public authority of the State Party an undue advantage.
Yang diartikan sebagai berikut:
Setiap Negara Pihak dapat mempertimbangkan untuk mengambil tindakan-tindakan legislatif dan lainnya yang dianggap perlu untuk menetapkan kejahatan pidana, apabila dilakukan dengan sengaja :
a. Janji, penawaran atau pemberian kepada pejabat publik atau orang lain siapa pun, secara langsung atau tidak langsung, manfaat yang tidak semestinya agar pejabat publik atau orang tersebut menyalahgunakan pengaruhnya yang nyata atau yang dianggap ada dengan maksud memperoleh dari pejabat publik suatu manfaat yang tidak semestinya untuk kepentingan penghasut yang sebenarnya dari tindakan tersebut atau untuk orang lain siapa pun;
b. Permintaan atau penerimaan oleh pejabat publik atau orang lain siapa pun, secara langsung atau tidak langsung, manfaat yang tidak semestinya untuk dirinya atau untuk orang lain agar pejabat publik atau orang tersebut menyalahgunakan pengaruhnya yang nyata atau dianggap ada dengan maksud memperoleh dari pejabat publik, suatu manfaat yang tidak semestinya.
Ilustrasi suap. Foto: Motortion Films/Shutterstock
Perdagangan Pengaruh dengan Gratifikasi dan Penyuapan
Apabila dimaknai sendiri-sendiri Perdagangan Pengaruh dibandingkan dengan Gratifikasi dan Penyuapan memiliki modus yang berbeda.
Perdagangan Pengaruh memiliki pola Trilateral Relationship yaitu melibatkan 3 (tiga) pihak di mana pihak pertama adalah pelaku dari sisi pengambil kebijakan, pihak kedua adalah orang yang menjual pengaruhnya (tidak mesti harus pejabat publik atau penyelenggara negara) dan pihak ketiga yaitu orang yang menginginkan suatu keuntungan dari pejabat publik atau penyelenggara negara.
Gratifikasi menurut pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Gratifikasi dengan kata lain dapat dimaknai adalah pemberian atau fasilitas apa pun.
Sedangkan Penyuapan mengacu kepada Pasal 5 (1) UU No. 20 tahun 2001 diartikan sebagai pemberian barang, uang, janji dan bentuk lainnya atau janji kepada seorang penyelenggara negara atau pegawai negeri yang berhubungan dengan jabatannya yang bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan dari pihak penerima suap. Apabila Perdagangan Pengaruh memiliki pola Trilateral Relationship maka Penyuapan memiliki pola Bilateral Relationship di mana ada 2 (dua) pihak yaitu pihak pertama adalah Penerima Suap dan harus penyelenggara negara atau Pegawai Negeri karena terdapat unsur menyalahgunakan kekuasaan atau kewenangan dalam jabatannya. Sedangkan pihak kedua bisa siapa saja termasuk penyelenggara negara, pegawai negeri maupun pihak swasta.
Indonesia Corruption Watch (ICW). Foto: Facebook/Sahabat ICW
Namun demikian Perdagangan Pengaruh memiliki korelasi yang sangat erat dengan Gratifikasi maupun Penyuapan. Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam “Kajian Implementasi Aturan Trading in Influence dalam Hukum Nasional” mengklasifikasikan 3 (tiga) modus atau pola Perdagangan Pengaruh, yaitu:
1. Pola Vertikal
Dalam pola ini pihak yang berpengaruh merupakan pihak yang memiliki kekuasaan/ kewenangan dan pengaruh yang dimilikinya digunakan untuk memberikan insentif kepada perorangan atau kelompok tertentu. Pola vertikal ini yang paling banyak terjadi karena transaksi politik atau lembaga tertentu dengan orang yang berpengaruh.
2. Pola Vertikal dengan Calo/Broker
Model Perdagangan Pengaruh Vertikal dengan Broker ini lazim terjadi pada lingkungan kekuasaan dan jabatan publik. Mereka yang dekat dengan kekuasaan salah satunya adalah lingkaran keluarga. Dalam model ini, broker menjadi individu atau kelompok yang memanfaatkan pengaruh si pejabat publik. Modal ini lazim terjadi dalam proyek-proyek pengadaan maupun penempatan seseorang menjadi penyelenggara negara maupun pejabat publik lainnya.
3. Pola Horizontal
Dalam model perdagangan pengaruh horizontal, pihak yang berkepentingan bersama calo atau broker merupakan dua pihak yang aktif, sementara Pejabat Publik merupakan pihak yang dipengaruhi. Model horizontal ini banyak terjadi di lingkungan yang bersentuhan dengan partai politik yang memiliki jaringan kepada kekuasaan eksekutif. Perdagangan Pengaruh dilakukan bersama dengan mereka yang berada di struktur pemerintah untuk mengambil sebuah kebijakan. Sehingga seringkali kita melihat pembuatan sebuah kebijakan dipengaruhi oleh faktor eksternal, terutama yang berasal dari partai politiknya sendiri.
Pada Perdagangan Pengaruh baik Pola Vertikal dengan calo/broker maupun Pola Horizontal, pelaku dapat berasal dari bukan penyelenggara negara, namun memiliki akses atau kekuasaan kepada pejabat publik. Hal ini dapat ditemukan pada frasa “public official or any other person” (Pasal 18 huruf (a) UNCAC).
Selanjutnya delik Perdagangan Pengaruh dimasukkan ke dalam undang-undang apa agar dapat berkontribusi secara efektif dalam pemberantasan korupsi?
Pertama tentunya memasukkan Perdagangan Pengaruh ke dalam Undang-undang Tipikor yang saat ini memang sudah urgent untuk direvisi. Kedua, memasukkan Perdagangan Pengaruh ke dalam Undang-undang Konflik Kepentingan.
Pada tahun 2009 KPK telah membuat Kajian dan Panduan Konflik Kepentingan untuk Penyelenggara Negara, semestinya dalam hal ini Kementerian PANRB dapat menindaklanjutinya dengan membuat usulan RUU tentang Konflik Kepentingan. Ketiga, belajar dari pengalaman beberapa bulan ini Perdagangan Pengaruh perlu juga dimasukkan ke dalam RUU Kepresidenan yang saat ini mulai ramai dibicarakan.