Rhenald Kasali: Tarif Antidumping Picu Perang Dagang hingga PHK Melonjak
Rhenald Kasali di Kantor Wapres (28/08/2018). Foto: Kevin Kurnianto/kumparan
Guru Besar Universitas Indonesia (UI) Rhenald Kasali menilai, rentetan PHK yang menimpa sektor manufaktur, membuat sekelompok pengusaha menekan Menteri Perdagangan agar menerapkan Bea Masuk Antidumping (BMAD) sampai 200 persen.
Upaya pelaku industri itu dinilai sebagai pemicu perang dagang yang kompleks. Alih-alih mengatasi PHK, malah akan menimbulkan PHK yang lebih besar melalui kenaikan harga di dalam negeri.
Mendag Zulkifli Hasan dikabarkan sedang menimbang-nimbang usulan Komite Anti Dumping agar mengenakan tarif Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) sebesar 200 persen pada 7 kategori industri. Apabila regulasi tersebut dijalankan, tak menutup kemungkinan akan memicu PHK baru, kenaikan harga-harga, dan menghambat pertumbuhan.
“Donald Trump saja sangat berhati-hati. Kalau terpilih lagi, Trump berjanji akan mengenakan tarif 10 persen pada semua barang dari China. Trump sudah belajar, ketika dia kenakan hambatan masuk semasa pemerintahannya, malah terjadi inflasi. Segala produk manufaktur mulai dari handuk, masker kesehatan, keramik, sanitasi sampai pakaian anak-anak menghilang dari supermarket saat Trump mengeksekusi BMAD tahun 2019. Rakyatnya marah besar,” ujar Rhenald dalam keterangan tertulis, Sabtu (20/7).
”Amerika menjadi bulan-bulanan dunia karena banyak negara sudah bisa buat barang yang murah. Sedangkan negara-negara yang tidak efisien melayani kepentingan kelompok proteksionis dan mengakibatkan harga barang yang sama harus dibayar rakyatnya dua kali lipat” lanjutnya.
Sebanyak 21 pabrik tekstil disebut telah ditutup, ribuan pekerja terkena PHK, 31 lainnya menyusul akibat banjir impor ilegal. Mengikuti langkah industri tekstil, asosiasi kosmetik, alat elektronik dan keramik ikut minta perlindungan.
“Masing-masing beda case. Asosiasi harus lebih cerdas dan strategis. Yang berantakan dan merusak mereka adalah struktur industri, keberadaan bahan baku dan penolong yang tidak didukung pemerintah, Bea masuk terhadap bahan-bahan mentah dan permesinan terlalu tinggi, mahalnya biaya modal, harga gas dan energi yang kalah dengan negara lain.” ujar Rhenald.
Rhenald juga mengingatkan, di tekstil kasusnya jelas. Namun di industri keramik, data-data yang diajukan asosiasi perlu diverifikasi kembali karena banyak yang tak sesuai dengan kenyataan lapangan.
”Negeri ini apa-apa selalu cari jalan pintas. Seakan-akan tarif anti dumping ratusan persen solusi terbaik. Padahal ini bisa memicu pembalasan pada kategori industri lain yang menjadi komoditas ekspor Indonesia,” tutur Rhenald.
“Benar, tekstil kita terpukul. Elektronik dan keramik harus bangun industri dan pemerintah wajib kasih insentif yang menarik,” tambahnya.
Ia mencontohkan, keramik lokal (yang disebut red body-HS Code 6907.23) sulit disaingi barang impor kendati ada persaingan barang China karena Indonesia adalah penghasil tanah liat yang kaya. Sehingga, keramik red body Indonesia akan semakin bagus jika diberi insentif. Sedangkan China fokus pada keramik Porselen (HS code 6907.21) karena dibuat dari Kaolin yang berlimpah di negara mereka dan untuk pasar gen z menengah ke atas.
“Persaingan dan marketnya berbeda. Yang mau diproteksi yang mana? Tujuannya proteksi apa? Apakah hanya ingin ikut perang dagang?” terang Rhenald.