Dewas KPK Disebut Macan Ompong: Berani ke Pegawai, tapi Pimpinan Diproses Lama
Ketua Dewan Pengawas (Dewas) KPK Tumpak Hatorangan Panggabean (kedua kanan) didampingi anggota Dewas KPK Syamsuddin Haris (kanan) dan staf beranjak usai menyampaikan paparan kinerja Dewas KPK sepanjang 2023 di Gedung C1 KPK, Jakarta, Senin (15/1). Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Anggota Komisi III DPR dari partai Demokrat, Benny K. Harman, menilai Dewan Pengawas (Dewas) KPK yang dipimpin Tumpak Hatorangan Panggabean sebagai ‘macan ompong’.
Kritikan menohok itu disampaikan Benny saat rapat dengar pendapat dengan Dewas KPK dan Komisi III. Benny menilai, Dewas hanya berani dan tegas kepada pegawai tapi lambat memproses bila pimpinan yang tersandung etik.
“Saya bilang Dewas ini seperti macan ompong, tapi Pak Tumpak tadi bilang bukan kami yang salah sebab undang-undang tidak mengatur sehingga kelihatannya Pak Tumpak yang dulu sangat ditakuti ketika pimpinan KPK setelah jadi Dewas menjadi Pak Tumpak yang lemah-lunglai,” kata Benny dalam rapat, Rabu (05/6).
Bagi Benny, Dewas tidak membuat perbedaan antara etik dengan kejahatan tindak pidana yang dilakukan pimpinan KPK. Bahkan, Benny menyebut Dewas mereduksi dugaan korupsi yang dilakukan Firli Bahuri dengan hanya menjatuhkan etik.
“Loh, kalau pimpinan KPK kok Dewas-nya lama-lama’, akibat ketidakpahaman tadi kebingungan tadi publik menilai Dewas ini adalah penjaga pimpinan KPK. Coba bayangkan ada pimpinan KPK yang begitu saja berhenti tanpa pertanggungjawaban endak jelas hilang ke mana, publik tidak tahu, lalu Dewas ke mana, Dewan bikin apa, bingung?” ungkap Benny.
“Masuk akal kalau disimpulkan kehadiran Dewas itu bukan memperkuat KPK tapi memperlemah KPK, rontok independensinya,” imbuh Benny.
Politikus Demokrat tersebut menyayangkan karena Tumpak dan anggotanya adalah tokoh besar di bidang hukum. Memiliki integritas tinggi.
“Tapi yang terjadi jauh dari yang diharapkan,” timpal Benny.
Dewas memang beberapa kali menyidang etik pimpinan KPK, dari mulai Lili Pintauli Siregar, Firli Bahuri, hingga Nurul Ghufron. Namun, yang berhasil dijatuhi sanksi hanya Firli Bahuri. Adapun Lili keburu mengundurkan diri, sementara Ghufron menang di putusan sela PTUN Jakarta sehingga Dewas harus menunda vonis etik Ghufron.